Sabtu, 10 Mei 2008

Mata para wali memandangimu dari tempat mereka masing-masing

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilli berkata, “Ibadah haji pertamaku aku lakukan pada saat aku masih muda dan sedang melaksanakan tajrid (Pelepasan). Saat aku tiba di daerah Umm A-Qurn aku bertemu Syaikh Uday bin Musafir yang juga masih muda. ‘Mau kemada engkau ?’ Tanya syaikh Uday kepadaku.
‘Makkah Al-Musyarafah’. Jawabku.
‘Apa engkau bersama seseorang ?’
‘Aku sedang melaksanakan tajrid jawabku.’
‘begitu juga diriku’. Ujarnya. Kemudian kami berdua melanjutkan perjalanan.
Ditengah perjalanan kami berjumpa seorang wanita kurus dari habsyi. Dia berhenti di depanku dan memandangi wajahku lalu kemudian berkata, ‘Anak muda, dari manakah engkau ?’
‘Orang ‘ajam yang tinggal di Baghdad’. Jawabkku.
‘Engkau telah membuatku lelah hari ini’.
‘Kenapa?’.
‘Satu jam yang lalu aku berada di Habsyi (Ethiopia) kemudian Allah Ta’ala menunjukkan hatimu kepadaku sekaligus anugerah-Nya kepadamu yang belum pernah aku saksikan diberikan-Nya kepada selain dirimu. Hal itu menyebabkan aku ingin mengenal dirimu. Hari ini aku ingin berjalan bersama kalian melewatkan malam bersama kalian’. Katanya kepada kami.
‘itu merupakan kehormatan buat kami’. Jawabku.
Setelah itu dia mengikuti kami berjalan di sisi lain wadi tersebut. Ketika tiba waktu maghrib dan saat makan malam tiba, sebuah nampan turun dari langit berisi 6 potong roti beserta lauk pauknya. ‘SubhanaLlah segala puji dan syukur bagi Allah Ta’ala yang telah memuliakan aku dan tamuku’. Kata perempuan tersebut.’ Karena setiap malam biasanya aku hanya diberi dua potong roti. Maka enam potong yang diturunkan pada malam ini tentulah sebagai bentuk penghormatan kepada tamuku’. Malam itu, setiap dari kami memakan dua potong roti.
Selesai makan, datanglah tempat air dan kami meminum air yang kesegaran dan rasanya tidak ada di dunia ini. Setelah itu, perempuan itupun pergi meninggalkan kami.
Di Makkah, saat kami melakukan tawaf, Allah Ta’ala berkenan menurunkan Nur-Nya kepada Syaikh Uday. Sang Syaikh pingsan seketika sampai orang-orang mengatakannya telah mati. Saat itu aku melihat perempuan yang pernah bertemu dengan kami di wadi. Dia membalikkan kepala Syaikh Uday dan berkata, ‘Engkau akan dihidupkan oleh Yang Mematikanmu. Maha Suci Dia yang menjadikan segala sesuatu yang menampakkan cahaya keagungan-Nya sebagai bukti keberadaan-Nya. Maha suci Dia yang menjadikan manifestasi sifat-sifat-Nya di seluruh alam semesta sebagai pengokoh eksisteni-Nya. Dia sembunyikan Ke-Mahasucian-Nya dari pandangan mata, namun dada orang-orang yang terpilih dapat mencerap Ke-Maha-Indahan-Nya. Allah lah Yang Maha Tinggi dan kepada-Nya segala puji-yang menurunkan sinarnya kepada orang ini’.
Kemudian di dalam diriku ada sebuah suara yang mengatakan, ‘Wahai Abdul Qadir, tinggalkan jajrid (pelepasan) lahiriah dan beralihlah kepada tafrid (pemisahan), maka angkau akan melihat berbagai keajaiban dari ayat-ayat (kauniyah) Kami. Jangan pernah membandingkan kehendak Kami dengan hasratmu. Kokohkan kakimu di hadapan Kami dan jangan pernah beranggapan kemusyrikan akan melanggengkan penyaksian. Duduklah agar orang-orang dapat mengambil manfaat. Di tanganmu lah hamba-hamba Kami baik yang khusus maupun yang awam akan mencapai kedekatan bersama Kami’
Perempuan tersebut kemudian berkata kepadaku, ‘Hai anak muda, aku tidak tahu apa yang terjadi pada dirimu hari ini. Hari ini aku melihat kami dilingkupi oleh kemah dari cahaya dan engkau dikelilingi oleh para malaikat ‘alaihimussalaam, hingga ke atas langit. Mata para wali memandangimu dari tempat mereka masing-masing dan juga memandang anugerah yang diberikan kepadamu’. Setelah iru dia menghilang dan aku tidak pernah lagi bertemu dengannya”.

Syaikh Abu Muhammad Shaleh bin Wairuzzan Az-Zakaali bercerita, “Syaikhku Abu Madyan berkata kepadaku, ‘Pergilah ke Baghdad dan temui Syaikh Abdul Qadir. Dia akan mengajarkan faqr kepadamu.’ Aku kemudian pergi ke Baghdad. Saat melihat beliau, aku mendapati diriku tidak pernah melihat orang yang memiliki karisma sedemikian besar. Beliau kemudian memerintahkanku untuk berkhalwat di depan pintu rumahnya. Setelah dua puluh hari, sambil memberikan isyarah ke arah ka’bah beliau berkata kepadaku, ‘Hai Saleh, lihat ke sini. Apa yang engkau lihat’.
‘Ka’bah’ Jawabku.
‘Coba ke sini, apa yang engkau lihat ?’ Tanya kepadaku sambil memberikan isyarah dengan tangannya ke arah barat.
‘Syaikhku Abu Madyan’. Jawabku.
‘Mana yang engkau pilih, Syaikhmu Abu Madyan atau Ka’bah.’
‘Syaikhku Abu Madyan’. Jawabku. Kemudian beliau berkata, ‘Ya Shaleh, engkau tidak akan mencapai faqr kecuali menaiki tangga menuju kondisi tersebut yaitu tauhid. Dan orang yang telah menguasai tauhid akan dapat menghapuskan semua yang muncul dari pembicaraan yang bersumber dari kepicikan pandangan’
‘Tuanku, aku memohon pertolonganmu untuk menularkan sifat ini kepadaku’. Pintaku kepada beliau. Beliau lalu memandangku dan aku merasa hasratku terpisah dari hatiku seperti malam yang hilang ditelan kecemerlangan fajar”.
Syaikh Umar Al- Bazaar berkata, “Suatu hari aku duduk di hadapan Syaikh Abdul Qadir dalam khalwatnya. Beliau berkata kepadaku, ‘Jaga punggungmu karena akan ada kucing yang jatuh di punggungmu’. Dalam hati aku berkata, ‘ Dari mana datangnya kucing ? Tidak ada lubang di atas dan.....’ sebelum aku sempat menyelesaikannya tiba-tiba seekor kucing jatuh ke punggungku. Kemudian beliau memukulkan tangannya ke dadaku dan aku mendapati cahaya terbit dari dalam dadaku bak mentari. Dan aku menemukan Al-Haq pada saat itu. Dan sampai sekarang, kuantitas dinar tersebut terus membesar”.
.
.THE GOLDEN AGE:

The early 'Abbasids were also fortunate in the caliber of their caliphs, especially after Harun al-Rashid came to the caliphate in 786. His reign is now the most famous in the annals of the 'Abbasids - partly because of the fictional role given him in The Thousand and One Nights (portions of which probably date from his reign), but also because his reign and those of his immediate successors marked the high point of the 'Abbasid period. As the Arab chronicles put it, Harun al-Rashid ruled when the world was young, a felicitous description of what in later times has come to be called the Golden Age of Islam.

The Golden Age was a period of unrivaled intellectual activity in all fields: science, technology, and (as a result of intensive study of the Islamic faith) literature - particularly biography, history, and linguistics. Scholars, for example, in collecting and reexamining the hadith, or "traditions" - the sayings and actions of the Prophet - compiled immense biographical detail about the Prophet and other information, historic and linguistic, about the Prophet's era. This led to such memorable works as Sirat Rasul Allah, the "Life of the Messenger of God," by Ibn Ishaq, later revised by Ibn Hisham; one of the earliest Arabic historical works, it was a key source of information about the Prophet's life and also a model for other important works of history such as al-Tabari's Annals of the Apostles and the Kings and his massive commentary on the Quran.

Photo: Persian miniature depicts students with a teacher of astronomy - one of the sciences to which scholars of the Golden Age made great contributions.

'Abbasid writers also developed new a genres of literature such as adab, the embodiment of sensible counsel, sometimes in the form of animal fables; a typical example is Kalilah wa-Dimnah, translated by Ibn al-Muqaffa' from a Pahlavi version of an Indian work. Writers of this period also studied tribal traditions and wrote the first systematic Arabic grammars.

During the Golden Age Muslim scholars also made important and original contributions to mathematics, astronomy, medicine, and chemistry. They collected and corrected previous astronomical data, built the world's first observatory, and developed the astrolabe, an instrument that was once called "a mathematical jewel." In medicine they experimented with diet, drugs, surgery, and anatomy, and in chemistry, an outgrowth of alchemy, isolated and studied a wide variety of minerals and compounds.

Important advances in agriculture were also made in the Golden Age. The 'Abbasids preserved and improved the ancient network of wells, underground canals, and waterwheels, introduced new breeds of livestock, hastened the spread of cotton, and, from the Chinese, learned the art of making paper, a key to the revival of learning in Europe in the Middle Ages.

The Golden Age also, little by little, transformed the diet of medieval Europe by introducing such plants as plums, artichokes, apricots, cauliflower, celery, fennel, squash, pumpkins, and eggplant, as well as rice, sorghum, new strains of wheat, the date palm, and sugarcane.

Photo: Muslim scientists developed the astrolabe, an instrument used long before the invention of the sextant to observe the position of celestial bodies.

Many of the advances in science, literature, and trade which took place during the Golden Age of the 'Abbasids and which would provide the impetus for the European Renaissance reached their flowering during the caliphate of al-Mamun, son of Harun al-Rashid and perhaps the greatest of all the 'Abbasids. But politically the signs of decay were already becoming evident. The province of Ifriqiyah - North Africa west of Libya and east of Morocco - had fallen away from 'Abbasid control during the reign of Harun al-Rashid, and under al-Mamun other provinces soon broke loose also. When, for example, al-Mamun marched from Khorasan to Baghdad, he left a trusted general named Tahir ibn al-Husayn in charge of the eastern province. Tahir asserted his independence of the central government by omitting mention of the caliph's name in the mosque on Friday and by striking his own coins - acts which became the standard ways of expressing political independence. From 821 onward Tahir and his descendants ruled Khorasan as an independent state, with the tacit consent of the 'Abbasids.

Al-Mamun died in 833, in the town of Tarsus, and was succeeded by his brother, al-Mu'tasim, under whose rule the symptoms of decline that had manifested themselves earlier grew steadily worse. As he could no longer rely on the loyalty of his army, al-Mu'tasim recruited an army of Turks from Transoxania and Turkestan. It was a necessary step, but its outcome was dominance of the caliphate by its own praetorian guard. In the years following 861, the Turks made and unmade rulers at will, a trend that accelerated the decline of the central authority. Although the religious authority of the 'Abbasid caliphate remained unchallenged, the next four centuries saw political power dispersed among a large number of independent states: Tahirids, Saffarids, Samanids, Buwayhids, Ziyarids, and Ghaznavids in the east; Hamdanids in Syria and northern Mesopotamia; and Tulunids, Ikhshidids, and Fatimids in Egypt.

Photo: Books of fables, often illustrated, served a dual purpose to instruct and to entertain.

Some of these states made important contributions to Islamic culture. Under the Samanids, the Persian language, written in the Arabic alphabet, first reached the level of a literary language and poets like Rudaki, Daqiqi, and Firdausi flourished. The Ghaznavids patronized al-Biruni, one of the greatest and most original scholars of medival Islam, and the Hamdanids, a purely Arab dynasty, patronized such poets as al-Mutanabbi and philosophers like the great al-Farabi, whose work kept the flame of Arab culture alive in a difficult period. But in historical terms, only the Fatimids rivaled the preceding dynasties.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

tulisan yang sangat berkesan untuk dapat dipahami lebih dalam...mohon ijin saya dapat memposting beberapa tulisan ini di blog saya ya pak, sumber tetap akan saya muat) best regards

1